BREAKING NEWS

Di Antara Tangis dan Infus: Anak-anak Menunggu Pemimpin Mereka


PASUNDAN POS | JAKARTA — Langit pagi di kota itu tampak tenang, seolah tidak mengetahui badai yang sedang menimpa anak-anak di aula sekolah. Kursi-kursi berderet rapi, namun wajah-wajah ceria yang biasanya memenuhi ruangan kini pucat dan lesu. Laporan medis terus berdatangan: mual, muntah, diare, pusing—anak-anak itu menjadi korban Makan Bergizi Gratis (MBG), program yang seharusnya menjadi simbol kepedulian pemerintah terhadap generasi muda.

Di dapur penyedia MBG, aroma masakan yang semestinya menenangkan justru menjadi sumber masalah. Bahan makanan sebagian disimpan dalam kondisi tidak ideal, beberapa bumbu sudah layu, dan suhu pengolahan tidak konsisten. 

Rantai pasok yang panjang, dengan pemasok lokal dan koperasi menyalurkan bahan ke berbagai sekolah, membuat pengawasan menjadi rumit. Seorang petugas mengelap keringat, berbisik lirih, “Kami sudah melakukan yang terbaik… tapi mungkin ada yang terlewat…”

Di aula sekolah, tangisan dan bisik-bisik cemas orang tua bercampur dengan suara alat medis. Dokter-dokter bekerja tanpa henti, mengukur tekanan darah, menenangkan anak-anak yang muntah, dan memberikan cairan infus. Tim medis mencatat bahwa sebagian besar korban berasal dari sekolah dasar dan menengah di Pulau Jawa. Setiap detik terasa seperti keabadian.

Di ruang rapat darurat pemerintah, layar monitor menampilkan laporan dari berbagai daerah. Menteri Kesehatan segera menginstruksikan seluruh dinas kesehatan provinsi untuk meningkatkan pengawasan. Sekolah-sekolah yang terdampak menghentikan sementara program MBG. 

Tim independen dari BPOM diturunkan untuk memeriksa bahan baku dan kualitas makanan. Seorang staf menatap layar telepon, bergumam, “Jika Pak Prabowo masih tertahan lama di luar negeri… aku takut keadaan semakin memburuk.”

Di seberang dunia, ribuan kilometer jauhnya, Prabowo Subianto masih berada di New York, menyelesaikan kunjungan di PBB. Debat internasional, pidato forum global, dan pertemuan bilateral—setiap langkahnya dirancang demi kesejahteraan bangsa. Namun hatinya mulai merasakan sesuatu yang belum ia ketahui: tragedi yang telah menimpa anak-anak di tanah air.

Di kabin pesawat yang belum ia naiki, rencana perjalanan pulang sedang disusun. Para staf diplomatiknya menatap jadwal dengan cemas, mengatur ulang agenda, dan menyiapkan laporan darurat. Mereka tahu, saat Prabowo kembali nanti, wajah-wajah kecil itu menunggunya dengan harapan.

Di aula sekolah, seorang anak kecil meraih tangan temannya dan berbisik, “Semoga Pak Prabowo cepat pulang.” Kata-kata sederhana itu sarat harapan, ketakutan, dan kepercayaan. Seorang guru menunduk, menyeka air mata, dan berbisik, “Mereka benar-benar menunggu pemimpin mereka…”

Setiap detik berlalu dengan tegang. Evakuasi dipercepat, perawatan medis intensif dilakukan, dan investigasi cepat digelar untuk menemukan akar masalah keracunan. Pemerintah bekerja tanpa henti, memastikan dampak minimum dan menyiapkan langkah pencegahan untuk masa depan.

Dan di balik langit biru yang luas, sebuah pertanyaan menggantung: kapan pemimpin itu pulang? Harapan anak-anak kini bertumpu pada waktu dan pada kepastian bahwa ketika ia tiba nanti, luka yang menganga akan segera mendapat penawar. (by)